“Apakah habitus orang kaya yang paling umum?” tanya saya
kepada sejumlah kawan. “Mereka super pelit,” kata Iin. “Orang kaya yang saya
kenal banyak yang sombong,” jawab Toni. “Selalu memperhitungkan segala
sesuatunya dengan cermat,” kata Herlina. “Tidak suka berhutang,” ujar Didi.
“Suka menawar harga barang yang ingin dibelinya,” jelas Diah. “Mereka suka
memamerkan kekayaannya,” kata Rudy. “Cenderung serakah dan asosial,” gagas
Yuyun. “Hanya membeli barang-barang bermerek terkenal,” ujar Lilik. “Hidup
hemat, cenderung pelit, dan tidak suka menunjukkan kemampuan mereka yang
sebenarnya,” papar Dewi. “Suka bangun siang dan tidur dini hari,” kata Indra.
***
Manusia membangun habitus
secara perlahan. Dan kemudian habitus itu membentuk nasibnya. (Pandir Karya)
“Habitus (Latin) bisa berarti kebiasaan, tata pembawaan,
atau penampilan diri, yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging,
semacam pembadanan dari kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, mendekati,
bertindak, atau berinteraksi dalam kondisi suatu masyarakat… bersifat spontan,
tidak disadari pelakunya apakah itu terpuji atau tercela, seperti orang tak
sadar akan bau mulutnya. Ia bisa menunjuk seseorang, tapi juga kelompok
sosial,” demikian antara lain penjelasan B. Herry-Priyono (Kompas, 31 Desember
2005).
Perhatikan bahwa habitus “…telah menjadi insting perilaku
yang mendarah daging”, “bersifat spontan”, “tidak disadari pelakunya”, dan bisa
menunjuk kepada “kelompok sosial” tertentu. Nah, dengan pemahaman ini, mari
kita coba pikirkan, apa sajakah habitus kelompok sosial ekonomi atas (baca:
orang-orang kaya dan super kaya) yang telah menjadi insting perilaku yang
mendarah daging, bersifat spontan, dan tidak disadari pelakunya (baca: bersifat
reflek)?
Dari studi literatur tentang kecenderungan perilaku
orang-orang kaya di Amerika dan Asia, serta dari pengamatan pribadi mengenai
perilaku sejumlah kawan yang kaya di Indonesia, sekurang-kurangnya bisa
disebutkan beberapa habitus yang saling kait mengait satu sama lain sebegai
berikut.
Habitus pertama, dan boleh jadi ini yang terpenting,
mereka menikmati hidup dengan standar jauh dibawah kemampuan mereka yang
sebenarnya. Artinya, secara keuangan mereka lebih kuat dari apa yang nampak
oleh mata lingkungannya. Mereka lebih kaya dari apa yang mungkin dipikirkan
orang lain di sekitar mereka (tetangganya). Bila mereka sesungguhnya mampu
membeli rumah seharga Rp 10 miliar, maka mereka senang memilih rumah seharga Rp
1 miliar. Jika mereka mampu membeli mobil seharga Rp 2 miliar, mereka senang
memilih mobil seharga Rp 600 juta saja. Sekalipun mereka lebih dari mampu
membeli barang-barang yang dipajang di butik-butik eksklusif atau pertokoan
mewah macam Sogo Departemen Store, mereka tidak sungkan untuk berbelanja di
pusat belanja grosir seperti di ITC Mangga Dua.
Seorang kawan yang saya duga memiliki harta kekayaan bersih
lebih dari Rp 20 miliar dan tinggal di kawasan Karawaci, Tangerang, pernah
mengatakan kepada saja bahwa, “Saya menganut pandangan bahwa apa pun yang kita
gunakan dan nampak oleh orang lain seharusnya tidak lebih dari sepertiga
kekuatan kita yang sesungguhnya. Dan kalau saya bisa menggunakan sepertigapuluh
atau bahkan sepertigaratus dari kemampuan finansial saya untuk hidup nyaman,
itu sudah cukup. Saya tidak suka dikenal terutama sebagai orang kaya. Saya
lebih suka dikenal sebagai orang yang berkarya”. Pernyataan ini dengan tegas
menunjukkan bahwa ia menikmati hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya.
Karena terbiasa hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya,
maka mereka—orang-orang kaya tersebut—selalu memastikan bahwa biaya konsumsi
mereka jauh dibawah penghasilan rutin yang mereka peroleh. Itulah habitus kedua. Jika mereka memperoleh penghasilan rutin
(katakan saja) Rp 30-40 juta per bulan, maka mereka telah membiasakan diri
untuk hanya menggunakan sekitar Rp 10-15 juta per bulan untuk memenuhi
kebutuhan bulanan keluarganya. Dan ketika penghasilan mereka meningkat menjadi
Rp 60-70 juta per bulan pun, mereka tidak merasa perlu untuk mengubah pola
konsumsi mereka. Dalam hal ini yang meningkat secara langsung adalah jumlah
tabungan untuk investasi, karena biaya konsumsi relatif tetap.
Habitus yang ketiga adalah kebiasaan menyisihkan dana
untuk tabungan dan investasi dulu, dan menyisakan yang lainnya untuk konsumsi
rutin setiap bulannya. Jadi bukannya menggunakan penghasilannya untuk konsumsi
dan kalau akhir bulan masih tersisa baru ditabung dan diinvestasikan. Dengan
kata lain, mereka terbiasa untuk mencurahkan cukup banyak waktu untuk memikirkan
soal kemana dan bagaimana uang mereka ditabung dan diinvestasikan agar
berkembang lebih maksimal. Mereka tidak memberikan banyak waktu untuk
memikirkan cara-cara menggunakan uang secara konsumtif, untuk berbelanja
berlama-lama di pusat-pusat pembelanjaan. Sebaliknya, mereka memberikan banyak
waktu untuk memikirkan hal-hal yang membuat harta mereka menjadi makin
produktif, tumbuh dan berkembang, sehingga mereka menjadi mapan secara
keuangan.
Setiap kali saya mengingat sejumlah perbincangan ketika berkesempatan
mewawancarai atau sekadar mendengarkan nasihat orang-orang seperti Mochtar
Ryadi, Ir. Ciputra, Bob Sadino, Jonathan L. Parapak, dan Soen Siregar, saya
merasakan bagaimana ketiga habitus yang disebut di atas telah terpatri menjadi
bagian dari tarikan nafas orang-orang tersebut. Tentu saja masih banyak lagi
habitus orang-orang yang mapan secara finansial itu. Namun tiga yang telah
dipaparkan di atas adalah habitus yang paling umum.
Karena itu saya bisa memastikan bahwa kawan-kawan saya yang
lebih suka menampilkan gaya hidup seperti orang kaya, membiasakan diri untuk
berbelanja lebih dulu dan menabung belakangan, serta senang menghabiskan banyak
waktu untuk memikirkan barang-barang konsumsi (gonta-ganti mobil baru tiap 1-2
tahun sekali, mengenakan pakaian-pakaian bermerek yang dibeli secara kredit,
makan minum di tempat-tempat mahal, dan sebagainya), pastilah tidak akan pernah
menjadi orang yang mapan secara keuangan. Orang muda yang suka foya-foya,
hampir pasti akan hidup susah di usia senja. Sepasti matahari tenggelam di ufuk
barat.
Kalau
tak percaya, silahkan mencoba dan rasakan akibatnya!
Andrias Harefa