Monday, September 17, 2012

How to Create a Big Idea (1)



Dalam perjalanan menuju kantor, diantara kemacetan yang membosankan mata saya tertuju ke sebuah bilboard dengan ukuran 9x12 m sambil membaca sebuah copy yang cukup gede “Siang Dipendam Malam Balas Dendam”. Yang menjadi pertanyaan adalah gimana cara dapetin ide seperti itu.

Hidup seseorang diukur dari manfaat untuk orang lain bukan? Saya coba sharing dari pengalaman yang saya dapatkan waktu mengikuti Creative Director Cloning (CDC).
Kita coba membuka buku kemudian membolak-balikan gambar yang lainnya tanpa tujuan, berharap bisa ketemu ide untuk sebuah print ad. Ataupun melalui googling. Dengan cara seperti itu ide yang dihasilkan kemungkinan tidak maksimal, malah bisa jadi menjiplak ide orang atau plagiat.

so how...?

Untuk cara ini mereka menyebutnya “Disruption”.  Sesuatu  yang dilakukan diluar dari biasanya atau meloncat dari sesuatu yang normal.

Contoh :
Jika mengerjakan print ad untuk sebuah brand pasta gigi “PEPSODENT”.
Ordinary Things : Seorang pria sedang menyikat gigi dengan “PEPSODENT”
Result : Seorang bayi sedang menyikat gigi dengan “PEPSODENT”, Seekor kuda sedang menyikat gigi dengan “PEPSODENT”, Hantu sedang menyikat gigi dengan “PEPSODENT”

Ordinary Things : Pasta gigi “PEPSODENT” membuat gigi menjadi putih.
Result : Pasta gigi “PEPSODENT” membuat muka menjadi putih, Pasta gigi “PEPSODENT” membuat baju menjadi putih.

Jangan pernah merasa puas dengan satu ide yang telah didapat. Terus menggali dan menggali dari ide-ide yang telah didapat. Dan jangan pernah merendahkan ide yang telah didapat.
 
Have a Great Idea!

Wednesday, September 12, 2012

Perilaku Orang Kaya



“Apakah habitus orang kaya yang paling umum?” tanya saya kepada sejumlah kawan. “Mereka super pelit,” kata Iin. “Orang kaya yang saya kenal banyak yang sombong,” jawab Toni. “Selalu memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat,” kata Herlina. “Tidak suka berhutang,” ujar Didi. “Suka menawar harga barang yang ingin dibelinya,” jelas Diah. “Mereka suka memamerkan kekayaannya,” kata Rudy. “Cenderung serakah dan asosial,” gagas Yuyun. “Hanya membeli barang-barang bermerek terkenal,” ujar Lilik. “Hidup hemat, cenderung pelit, dan tidak suka menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya,” papar Dewi. “Suka bangun siang dan tidur dini hari,” kata Indra.
***
Manusia membangun habitus secara perlahan. Dan kemudian habitus itu membentuk nasibnya. (Pandir Karya)
“Habitus (Latin) bisa berarti kebiasaan, tata pembawaan, atau penampilan diri, yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, semacam pembadanan dari kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, mendekati, bertindak, atau berinteraksi dalam kondisi suatu masyarakat… bersifat spontan, tidak disadari pelakunya apakah itu terpuji atau tercela, seperti orang tak sadar akan bau mulutnya. Ia bisa menunjuk seseorang, tapi juga kelompok sosial,” demikian antara lain penjelasan B. Herry-Priyono (Kompas, 31 Desember 2005).
Perhatikan bahwa habitus “…telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging”, “bersifat spontan”, “tidak disadari pelakunya”, dan bisa menunjuk kepada “kelompok sosial” tertentu. Nah, dengan pemahaman ini, mari kita coba pikirkan, apa sajakah habitus kelompok sosial ekonomi atas (baca: orang-orang kaya dan super kaya) yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, bersifat spontan, dan tidak disadari pelakunya (baca: bersifat reflek)?
Dari studi literatur tentang kecenderungan perilaku orang-orang kaya di Amerika dan Asia, serta dari pengamatan pribadi mengenai perilaku sejumlah kawan yang kaya di Indonesia, sekurang-kurangnya bisa disebutkan beberapa habitus yang saling kait mengait satu sama lain sebegai berikut.
Habitus pertama, dan boleh jadi ini yang terpenting, mereka menikmati hidup dengan standar jauh dibawah kemampuan mereka yang sebenarnya. Artinya, secara keuangan mereka lebih kuat dari apa yang nampak oleh mata lingkungannya. Mereka lebih kaya dari apa yang mungkin dipikirkan orang lain di sekitar mereka (tetangganya). Bila mereka sesungguhnya mampu membeli rumah seharga Rp 10 miliar, maka mereka senang memilih rumah seharga Rp 1 miliar. Jika mereka mampu membeli mobil seharga Rp 2 miliar, mereka senang memilih mobil seharga Rp 600 juta saja. Sekalipun mereka lebih dari mampu membeli barang-barang yang dipajang di butik-butik eksklusif atau pertokoan mewah macam Sogo Departemen Store, mereka tidak sungkan untuk berbelanja di pusat belanja grosir seperti di ITC Mangga Dua.
Seorang kawan yang saya duga memiliki harta kekayaan bersih lebih dari Rp 20 miliar dan tinggal di kawasan Karawaci, Tangerang, pernah mengatakan kepada saja bahwa, “Saya menganut pandangan bahwa apa pun yang kita gunakan dan nampak oleh orang lain seharusnya tidak lebih dari sepertiga kekuatan kita yang sesungguhnya. Dan kalau saya bisa menggunakan sepertigapuluh atau bahkan sepertigaratus dari kemampuan finansial saya untuk hidup nyaman, itu sudah cukup. Saya tidak suka dikenal terutama sebagai orang kaya. Saya lebih suka dikenal sebagai orang yang berkarya”. Pernyataan ini dengan tegas menunjukkan bahwa ia menikmati hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya.
Karena terbiasa hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya, maka mereka—orang-orang kaya tersebut—selalu memastikan bahwa biaya konsumsi mereka jauh dibawah penghasilan rutin yang mereka peroleh. Itulah habitus kedua. Jika mereka memperoleh penghasilan rutin (katakan saja) Rp 30-40 juta per bulan, maka mereka telah membiasakan diri untuk hanya menggunakan sekitar Rp 10-15 juta per bulan untuk memenuhi kebutuhan bulanan keluarganya. Dan ketika penghasilan mereka meningkat menjadi Rp 60-70 juta per bulan pun, mereka tidak merasa perlu untuk mengubah pola konsumsi mereka. Dalam hal ini yang meningkat secara langsung adalah jumlah tabungan untuk investasi, karena biaya konsumsi relatif tetap.
Habitus yang ketiga adalah kebiasaan menyisihkan dana untuk tabungan dan investasi dulu, dan menyisakan yang lainnya untuk konsumsi rutin setiap bulannya. Jadi bukannya menggunakan penghasilannya untuk konsumsi dan kalau akhir bulan masih tersisa baru ditabung dan diinvestasikan. Dengan kata lain, mereka terbiasa untuk mencurahkan cukup banyak waktu untuk memikirkan soal kemana dan bagaimana uang mereka ditabung dan diinvestasikan agar berkembang lebih maksimal. Mereka tidak memberikan banyak waktu untuk memikirkan cara-cara menggunakan uang secara konsumtif, untuk berbelanja berlama-lama di pusat-pusat pembelanjaan. Sebaliknya, mereka memberikan banyak waktu untuk memikirkan hal-hal yang membuat harta mereka menjadi makin produktif, tumbuh dan berkembang, sehingga mereka menjadi mapan secara keuangan.
Setiap kali saya mengingat sejumlah perbincangan ketika berkesempatan mewawancarai atau sekadar mendengarkan nasihat orang-orang seperti Mochtar Ryadi, Ir. Ciputra, Bob Sadino, Jonathan L. Parapak, dan Soen Siregar, saya merasakan bagaimana ketiga habitus yang disebut di atas telah terpatri menjadi bagian dari tarikan nafas orang-orang tersebut. Tentu saja masih banyak lagi habitus orang-orang yang mapan secara finansial itu. Namun tiga yang telah dipaparkan di atas adalah habitus yang paling umum.
Karena itu saya bisa memastikan bahwa kawan-kawan saya yang lebih suka menampilkan gaya hidup seperti orang kaya, membiasakan diri untuk berbelanja lebih dulu dan menabung belakangan, serta senang menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan barang-barang konsumsi (gonta-ganti mobil baru tiap 1-2 tahun sekali, mengenakan pakaian-pakaian bermerek yang dibeli secara kredit, makan minum di tempat-tempat mahal, dan sebagainya), pastilah tidak akan pernah menjadi orang yang mapan secara keuangan. Orang muda yang suka foya-foya, hampir pasti akan hidup susah di usia senja. Sepasti matahari tenggelam di ufuk barat.
Kalau tak percaya, silahkan mencoba dan rasakan akibatnya!


Andrias Harefa

Tuesday, September 11, 2012

Review Logo - Olympic London 2012

Lord Coe unveils the logo for the 2012 Olympics in London claiming it is "ambitious, interactive and youth-friendly".

Organising committee chairman Lord Coe said: "It meets the biggest challenge we have over the next five years, which is reaching out to young people."
For the first time, the logo will be used for the Olympics and Paralympics.
Coe added: "It is interactive and absolutely at the heart of what we need to do - engaging the attention of young people through new media and the virtual world they can get transported into.
"It will be imperative that it is flexible. I think it is way beyond any simple logo.

A successful brand also helps bring in millions in sales of everything from mugs, mascots to T-shirts.

"We have been involved in this process now for over a year," added Coe. "We have done a lot of work about this and spoken to over 60 stakeholders and young people who each insist that we understand the challenges faced on a day-to-day basis.

"We have produced a brand which is appropriate for London, but it has an international character as well. This is different absolutely."

International Olympic Committee President Jacques Rogge said: "This is a truly innovative brand logo that graphically captures the essence of the London 2012 Olympic Games - namely to inspire young people around the world through sport and the Olympic values.

"Each edition of the Olympic Games brings its own flavour and touch to what is now well over a century of modern Olympic history; the brand launched today by London 2012 is, I believe, an early indication of the dynamism, modernity and inclusiveness with which London 2012 will leave its Olympic mark."

The brand, designed by Wolff Ollins, has been targeted at the young people the organisers hope to get involved.

It is a deliberate change from previous Olympic logos, which often feature an image from the city.

Lord Coe and London organising committee chief executive Paul Deighton were joined by a team of Olympic ambassadors for the launch at London's Roundhouse.

From : BBC London

Monday, September 10, 2012

The Power of Advertising Ideas

Companies are finding that the power of their brands comes from doing few things well. Not from the wide range market they serve.
Does your brand keep it's promise? Your performance and perceptions should in sync or you are breaking your promise.
The price you charge reflects the value of your brand. The greater the perceive value, the greater the price your brand command.
Competing on price is the weakest of positions. Marketing should provide consumers with a reason to believe to do business with you.
Retail experience is the brand experience. Home delivery will kill your Brand Experience. Though it gives faster sales respons.

The power of advertising ideas "Very few people are good at judging the value of advertising idea and executions..."It was a deliberate compromise, so I could focus on advertising. But I've now been challenged to write on advertising ideas, so here goes...Understanding advertising ideas First things first: in a client / agency relationship it is the responsibility of the advertising agency to develop advertising ideas. A good agency will always start their creative presentations with the advertising idea. There are two key points to understanding advertising ideas:
1. The role of an advertising idea is to dramatize the benefit to the consumer. A good idea brings the consumer benefit to life and communicates it in a powerful and compelling way. (This is why big advertising ideas are so valuable.)
2. An advertising idea can be expressed independent of an advertising execution (an idea is NOT the storyline, the location, the use of a celebrity or any other element of the execution). 

Why the advertising idea is so important understanding the idea, when you are evaluating advertising, is important because it allows you to do two things:
1. It allows you to consider the idea itself. Is it a big idea? Does it dramatize the correct benefit? (The one in the brief!) And is it powerful and compelling?
2. Once you have evaluated the idea, then you can move on to the execution. Is it the best execution of the idea? Are there other executions that could work? Is the idea 'campaign able' (can it produce a number of good advertising executions)? These are all vital considerations for the client. And for the agency presenting the work focusing on the idea demonstrates the value they have created much more effectively.

One example...The only way to fully appreciate the power of advertising ideas is to practice identifying and evaluating them. To do this I'd like to refer you to another website, the personal site of Neil French, one of the most successful creative directors in the world (he now has a global role at Ogilvy). Have a look at the Dove print campaign on his site. I would suggest that the advertising idea can be expressed as:"Taking bizarre and irrelevant facts from the animal world to illustrate that all the reader needs to know about is Dove."To view the Dove campaign, click here (the images are 'thumbnails' and will expand if you click on them). Have I expressed the idea correctly? Is the idea appropriate to the brand? Does it dramatize the benefit? Take a look and let me know what you think. And if you'd like to practice more,  browse the other campaigns on the site (or start looking at your own work!) If you'd like to browse the site from the homepage, it's www.neilfrench.com.Make a habit of looking for the advertising idea first and you'll have a new and more effective approach to evaluating advertising.

Regards
Colin Bates Founder, Director Building Brands Ltd

Find Your Greatness


Tentang Iklan (1)


Dipanggil meeting oleh client itu biasanya anugrah, berharap dapat project baru lagi. Ketika client memberikan brief, dia bercerita tentang problem produk yang minta solusi ke agency. Bahkan ada juga client yang ngasih brief tapi ga ngerti produknya secara mendalam, pokoknya g mau dibuatin orang yang begitu ngeliat langsung beli, beda dari yang lainnya atau istilah kerennya “out of the box”. Kepala langsung muter…mang designer itu tukang sulap?

Ketika brainstroming, ketemu ide kreatif yang out of the box tapi begitu dikasih ke client ditolak, penyebabnya adalah karena “out of the budget”. Nah binggung kan..

Awalnya agency harus nanya, produk nya jangka pendek atau panjang. Kalo jangka pendek, cukup ngomogin produk benefit secara physical dan emotional. Kalo jangka panjang sampe membangun value atau konsumen jadi siapa.jadi  Iklan itu sebenarnya hanya mendramatisir benefit atau value-nya.

Friday, September 7, 2012

Kalender sebagai Sarana Branding

Kesetiaan Client merupakan tantangan terbesar bagi pebisnis. Tidak mudah dijaga namun harus tetap dijalankan dengan penuh “ketulusan” agar client tidak pindah ke lain hati. Salah satunya adalah dengan memberi perhatian selama satu tahun melalui KALENDER sekaligus sebagai sarana promosi perusahaan.

Pesan perusahaan yang disampaikan melalui KALENDER harus merupakan rangkaian cerita atau berintegrasi satu dengan yang lainnya selama satu tahun. Sebagai contoh, tema yang diangkat visi perusahaan, maka pesan yang disampaikan adalah cara-cara yang dilakukan agar visi perusahaan bisa tercapai (misi) dan pada akhirnya bisa menjadi GOOL.

Secara umum, fungsi utama KALENDAR sebagai pengingat jadwal, hari libur bahkan ada yang sebagai pemanis meja kerja. Fungsi terakhir ini yang menjadi tantangan tersendiri bagi perancang KALENDAR untuk bisa menciptakan KALENDAR yang unik, praktis, nyaman dimata ketika melihat tanggal & catatan kecil nya dan yang terakhir tidak lupa cost efficiency.