Tergelitik hati saya ketika membaca beberapa komentar dari
sebuah situs jejaring sosial, bahwa Profesi Designer Grafis di Indonesia tidak
berbeda jauh dengan tukang setting! Wouw..
Sebuah profesi yang
menurut saya untuk biaya kuliahnya pun tidak bisa dibilang murah, terlebih
buku-buku design grafis yang harganya lumayan mahal dan tidak bisa difotocopy
karena keterbatasan warna.
Kondisi design grafis tidak berbeda jauh dengan industri
musik di tanah air, yang mudah untuk dibajak. Dengan mesin pencari google, jika
beruntung kita bisa menemukan gambar yang diinginkan, kemudian dijiplak atau
melalui sebuah proses yang dinamakan editing maka jadilah sebuah karya.
Belum lagi bersaing dengan percetakan yang biasanya
meng-GRATIS-kan jasa design, mulai dari kartu nama, brosur bahkan sampai majalah
sekalipun! Miris memang melihatnya...
Banyak orang awam hanya melihat, orang yang bisa menguasai
software grafis dianggap sebagai designer grafis. Ini memang potret yang
terjadi di industri ini.
Tetapi apa yang sebenarnya membedakan antara designer grafis
dengan orang yang hanya menguasai software grafis? Seorang Arsitek dan Tukang Kayu sama – sama bisa membangun
rumah lalu apa yang membedakannya?
Konsep
Sebelum mendirikan sebuah bangunan tentu saja seorang Arsitek
harus berkonsultasi dengan Sang Pemilik. Dia harus menggali informasi
sebanyak-banyaknya tentang keinginan, impian, ruangan dan warna favorit bahkan
hobby Sang Pemilik. Dalam hal ini bisa dikatakan “insight” Sang Pemilik.
Sama halnya dengan designer grafis, bukan sekedar eksekusi
dengan software grafis, tetapi mereka harus memikirkan pesan yang tepat kepada
konsumen yang dituju. Sebelum menemukan itu mereka harus “berkenalan” dengan
target mereka...tak kenal maka tak sayang. Dari situ maka didapat permasalahan
konsumen, karakter komunikasi yang tepat, strategi komunikasi yang efektif,
konsep visual yang menarik dan hal-hal konseptual lainnya.
Mungkin tidak semuanya melewati tahapan demikian tetapi
paling tidak seorang designer grafis harus menggali informasi
sebanyak-banyaknya mengenai produk atau jasa yang akan dikerjakan.
Kreativitas
Seorang Arsitek ketika diminta untuk membuat ruang tamu
model minimalis, tentu saja dia bisa mengeksekusinya dalam beberapa alternatif yang
disesuaikan dengan gaya Sang Pemilik.
Ketika seorang designer grafis menerima brief, mereka harus bisa
mengembangkannya, tetapi masih dalam batasan yang disesuaikan dengan target
mereka. Dalam hal ini dibutuhkan jam terbang dan wawasan yang luas.
Estetika
Penataan ruangan, pemilihan material, warna dan sebagainya
yang menimbulkan rasa nyaman bagi Sang Pemilik tentu saja dimiliki oleh seorang
Arsitek.
Begitu pun dengan keseimbangan warna, typografi, penempatan
gambar dan text (layout) yang membuat nyaman pembaca dipahami dengan betul
seorang designer grafis.
Banyak orang yang tidak mau tahu proses kreatif yang dijalankan, mereka hanya menginginkan Cepat, Bagus & Murah. Tetapi ini semua balik lagi kepada kita sebagai seorang Designer Grafis, apakah kita mau menciptakan kualitas bagus. Banyak yang mengeluh bahkan menyerah ketika design yang diajukan tidak diterima oleh client, sebaiknya hal seperti ini justru memacu kita untuk terus berkarya dengan hasil terbaik agar terjadi jarak yang jauh dengan tukang setting.