Saturday, September 28, 2013

Arsitek Vs Tukang Kayu

Tergelitik hati saya ketika membaca beberapa komentar dari sebuah situs jejaring sosial, bahwa Profesi Designer Grafis di Indonesia tidak berbeda jauh dengan tukang setting! Wouw..

Sebuah profesi yang menurut saya untuk biaya kuliahnya pun tidak bisa dibilang murah, terlebih buku-buku design grafis yang harganya lumayan mahal dan tidak bisa difotocopy karena keterbatasan warna.

Kondisi design grafis tidak berbeda jauh dengan industri musik di tanah air, yang mudah untuk dibajak. Dengan mesin pencari google, jika beruntung kita bisa menemukan gambar yang diinginkan, kemudian dijiplak atau melalui sebuah proses yang dinamakan editing maka jadilah sebuah karya.

Belum lagi bersaing dengan percetakan yang biasanya meng-GRATIS-kan jasa design, mulai dari kartu nama, brosur bahkan sampai majalah sekalipun! Miris memang melihatnya...
Banyak orang awam hanya melihat, orang yang bisa menguasai software grafis dianggap sebagai designer grafis. Ini memang potret yang terjadi di industri ini.

Tetapi apa yang sebenarnya membedakan antara designer grafis dengan orang yang hanya menguasai software grafis? Seorang Arsitek dan Tukang Kayu sama – sama bisa membangun rumah lalu apa yang membedakannya?

Konsep

Sebelum mendirikan sebuah bangunan tentu saja seorang Arsitek harus berkonsultasi dengan Sang Pemilik. Dia harus menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang keinginan, impian, ruangan dan warna favorit bahkan hobby Sang Pemilik. Dalam hal ini bisa dikatakan “insight” Sang Pemilik.
Sama halnya dengan designer grafis, bukan sekedar eksekusi dengan software grafis, tetapi mereka harus memikirkan pesan yang tepat kepada konsumen yang dituju. Sebelum menemukan itu mereka harus “berkenalan” dengan target mereka...tak kenal maka tak sayang. Dari situ maka didapat permasalahan konsumen, karakter komunikasi yang tepat, strategi komunikasi yang efektif, konsep visual yang menarik dan hal-hal konseptual lainnya.

Mungkin tidak semuanya melewati tahapan demikian tetapi paling tidak seorang designer grafis harus menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai produk atau jasa yang akan dikerjakan.

Kreativitas

Seorang Arsitek ketika diminta untuk membuat ruang tamu model minimalis, tentu saja dia bisa mengeksekusinya dalam beberapa alternatif yang disesuaikan dengan gaya Sang Pemilik.

Ketika seorang designer grafis menerima brief, mereka harus bisa mengembangkannya, tetapi masih dalam batasan yang disesuaikan dengan target mereka. Dalam hal ini dibutuhkan jam terbang dan wawasan yang luas.

Estetika

Penataan ruangan, pemilihan material, warna dan sebagainya yang menimbulkan rasa nyaman bagi Sang Pemilik tentu saja dimiliki oleh seorang Arsitek.
Begitu pun dengan keseimbangan warna, typografi, penempatan gambar dan text (layout) yang membuat nyaman pembaca dipahami dengan betul seorang designer grafis.

Banyak orang yang tidak mau tahu proses kreatif yang dijalankan, mereka hanya menginginkan Cepat, Bagus & Murah. Tetapi ini semua balik lagi kepada kita sebagai seorang Designer Grafis, apakah kita mau menciptakan kualitas bagus. Banyak yang mengeluh bahkan menyerah ketika design yang diajukan tidak diterima oleh client, sebaiknya hal seperti ini justru memacu kita untuk terus berkarya dengan hasil terbaik agar terjadi jarak yang jauh dengan tukang setting.

No comments: